top of page

PEMBURU UTANG


Pentas ke- 34 Program Indonesia Kita 2019 Jalan Kebudayaan Jalan Kemanusiaan

Ketika Indonesia hari ini dipenuhi berbagai persoalan, maka merawat semangat ke-Indonesia-an menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus diupayakan. Dan pentas-pentas Indonesia Kita merupakan ikhtiar itu, melalui jalan berkesenian.

Pentas Indonesia Kita ke-34 yang digelar di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tanggal 1 dan 2 November 2019 menjadi penutup rangkaian tema utama tahun ini, “Jalan Kebudayaan Jalan Kemanusiaan”. Melalui tema ini, Indonesia Kita menyadari pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman dalam kehidupan sosial. Dan Indonesia Kita menyampaikan pesan-pesan ini melalui humor dan kejenakaan.

Selaku penggagas Indonesia Kita, Butet Kartaredjasa mengatakan, ““Proses kerja bersama secara terus menerus adalah semangat dan motivasi kami yang sejak awal ingin menjadikan Indonesia Kita sebagai laboratorium kreatif seni pertunjukan. Sejauh ini kolaborasi kami dengan seniman dan pelaku seni dari berbagai daerah, baru mencapai 34 pertunjukan. Semoga di masa mendatang, bisa berkolaborasi lebih banyak lagi”.

Bagi Agus Noor, Direktur Kreatif Indonesia Kita, “Seni merupakan refleksi kompleksitas manusia dengan beragam dimensi. Kesadaran ini menjadi dasar untuk mengolah gagasan-gagasan kreatif dalam menciptakan pertunjukan Indonesia Kita sepanjang tahun 2019 di mana kita semua berada di antara gegap gempita peristiwa politik, namun kebudayaan mengingatkan kita untuk memuliakan kemanusiaan”.

Di pentas ke-34 ini, Tim Kreatif Indonesia Kita mempersembahkan lakon berjudul “Pemburu Utang”, sebagai refleksi atas situasi sosial di masyarakat kita. Dengan semangat yang sama, lakon “Pemburu Utang” diharapkan dapat menjadi suatu ibadah kebudayaan untuk merawat ke-Indonesiaan kita.

Lakon Pemburu Utang Apa yang terjadi ketika Negara dinyatakan bangkrut karena utang yang terlalu menumpuk?

Kisah ini bermula dari situasi di suatu Negara yang tidak sanggup menanggung beban utang, dan rakyat yang menanggung utang-utang Negara. Setiap warga Negara diwajibkan ikut membayar utang. Setiap warga Negara yang masih memiliki aset dan kekayaan, akan disita untuk menyelamatkan keutuhan Negara. Karena situasi seperti itu maka seluruh rakyat memilih untuk menjadi miskin. Semua beramai-ramai membangkrutkan diri dan lebih memilih hidup menggelandang atau menjadi pengemis.

Tapi ketika menjadi pengemis dan gelandangan pun mereka akan didenda. Bila tak mampu membayar denda itu maka mereka dianggap memiliki utang pada Negara dan harus membayarnya dengan cara apapun, dicicil atau dikridit dengan bunga tinggi.

Dalam keadaan itu, muncul Partai Pengemis Nasional, yang beranggotakan seluruh orang miskin. Partai ini kemudian menyelenggarakan kongres besar dengan mengundang seluruh pengemis dan orang-orang miskin. Kongres memutuskan agar semua orang harus ikut membayar utang. Dan dibentuk petugas "Pemburu Utang" yang bertugas menyita apapun barang berharga yang masih tersisa.

Sebenarnya, di antara pengemis dan orang-orang miskin itu ada banyak orang kaya dan berduit. Namun agar kekayaan mereka tak diambil "Pemburu Utang" maka orang-orang kaya itu memilih pura-pura miskin. Setiap orang menjadi pingin terlihat paling miskin dan menderita. Masing-masing selalu menceritakan seluruh penderitaan dan kesusahannya. Semakin terlihat menderita dan susah, mereka malah terlihat makin hebat.

Karena semua ingin terlihat miskin, maka barang-barang mewah yang sebelumnya menjadi status sosial orang kaya, menjadi tak berarti. Yang dicari justru barang-barang atau benda-benda yang buruk, jelek, rusak, rombeng. Semakin rombeng barang itu, justru makin dicari. Baju-baju mewah dan bagus taka ada yang mau beli; tapi pakaian rombeng dan penuh tambalan justru disukai. Kemiskinan menjadi mode. Kemiskinan menjadi lifestyle. Semakin tampak miskin semakin modis dan bergaya.

Mereka tak menyadari bahwa semua itu hanyalah proyek yang sedang dirancang agar orang-orang menikmati segala macam bentuk kemiskinan. Ketika banyak yang menderita, selalu ada yang mengambil keuntungan dari penderitaan itu.

Siapakah mereka yang senang mengambil keuntungan dari penderitaan rakyat itu? Temukan jawabannya dalam lakon "Pemburu Utang" dengan pesan yang sama: Jangan Kapok Menjadi Indonesia.

 

Program Indonesia Kita 2019 Jalan Kebudayaan Jalan Kemanusiaan

Pentas ke : 34 Judul Pentas : Pemburu Utang Jadwal : 2 kali pentas Jumat, 1 November 2019 - Pukul 20.00 WIB Sabtu, 2 November 2019 - Pukul 20.00 WIB Venue : Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta. Tim Kreatif : Butet Kartaredjasa, Agus Noor & Djaduk Ferianto Naskah & Sutradara : Agus Noor Penata Artistik : Ong Hari Wahyu Penata Tari : Josh Marcy Penari : Josh Marcy Company Penata Musik : Bintang Indrianto Pemusik : Bintang Indrianto & Bianglala Voices Pemain : Cak Lontong, Marwoto, Akbar, Mucle, Inaya Wahid, Yu Ningsih, Endah Laras, Sruti Respati, Heny Janawati, Encik Krishna, Wisben, Joned, Odon Saridon, Kiki Narendra

HTM: PLATINUM Rp. 750.000 | VVIP Rp. 500.00 | VIP Rp. 300.000 | BALKON Rp. 150.000

Reservasi Tiket: www.kayan.co.id | www.blibli.com

Informasi: Kayan Production & Communications 0895 3720 14902 | 0813 1163 0001

 

Tentang Program Indonesia Kita

Indonesia Kita mulai menggelar pertunjukan sejak tahun 2011, dan sejak itulah pentas-pentas yang diadakan menjadi “laboratorium kreatif” bagi berbagai seniman, baik lintas bidang, lintas kultural dan lintas generasi. Dari satu pentas ke pentas lainnya, pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah ikhtiar untuk semakin memahami bagaimana proses “menjadi Indonesia”.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah sebuah “proses menjadi”, yakni sebuah proses yang terus menerus diupayakan, proses yang tak pernah selesai, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu menjadi 'sebuah bangsa yang berkebudayaan’.

Indonesia Kita telah menjadi sebuah forum seni budaya yang bersifat terbuka, yang mempercayai jalan seni dan kebudayaan sebagai jalan yang sangat penting untuk mendukung 'proses menjadi Indonesia” itu. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan, maka merawat semangat ke-Indonesia-an menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus diupayakan.

Indonesia Kita yang secara berkala dan rutin diselenggarkan, pada akhirnya telah mampu meyakinkan penonton untuk melakukan apa yang seringkali disebut oleh Butet Kartaredjasa, sebagai “ibadah kebudayaan” yakni semangat untuk bersama-sama mendukung dan mengapresiasi karya seni budaya. Pentas-pentas Indonesia Kita mendapat apresiasi yang baik, tanggapan positif, dan mampu menjadi ruang interaksi tidak hanya antara seniman dan masyarakat penonton, melainkan juga antara penonton dan penonton. Sebuah komunitas kultural terbentuk, di mana penonton kemudian menghadiri pentas-pentas Indonesia Kita, sebagai wujud dari “ibadah kebudayaan”.

Jangan Kapok Menjadi Indonesia. Terima Kasih.

146 views0 comments
bottom of page