top of page

Forum Posts

MDRT.MVMNT
Aug 28, 2017
In Seni & Budaya
Diliput oleh: MDRT.MVMNT Ibadah kebudayaan (meminjam istilah Butet Kertarajasa), ke-25 yang digelar pada 25 dan 26 Agustus 2017 lalu, mencoba meliarkan imaji dengan pertunjukan yang bertajuk “Laskar Bayaran”. Lakon ini berlatar waktu tahun 2099 yang dipentaskan dengan gaya futuristik. I Made Sidia, seorang dalang asal Bali, merupakan sosok yang dapat menggambarkan bagaimana wayang dapat dipresentasikan secara modern tanpa menghilangkan filosofinya. Bersama sang ayah I Made Sadja dan juga anaknya, I Kadek Sugi Sudiarta, merespon wayang dengan teknik yang berbeda, yakni wayang listrik. Hal ini menandai hasil dari proses akulturasi wayang dari generasi ke generasi. Seperti biasa, pementasan Indonesia Kita selalu bertabur bintang diantaranya, Lola Amaria, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Agung Ocha, Angelina Arcana, Jean Couteau, Pino Confessa, Trio GAM, Anggis Devaki, Melyananda, dan Clekontong Mas. Bercerita tentang korporasi global bernama “Paradize Capitol Corporation” menguasai sebuah negeri dan rakyat hidup dalam koloni yang serba ‘tertib’. Segala hal dari percintaan, pikiran, sampai pada ritual keagamaan diatur ketat dan dikenai pajak. Alih-alih untuk menjaga ketertiban, Paradize Capitol Corporation membentuk Laskar Bayaran, yang bertugas untuk mengawasi, dan mengontrol kehidupan masyarakat dengan menarik pajak. Pementasan kali ini, tim kreatif Indonesia Kita dilengkapi oleh Putu Fajar Arcana, seniman asal Bali yang juga konsisten dalam menghasilkan karya penuh makna. Selain itu, ada pula gitaris kenamaan asal Bali yang dikenal memiliki magic finger, yakni Balawan. Berperan sebagai komandan Laskar Bayaran yang cukup mampu mengimbangi dagelan dari Marwoto. Sampai di suatu latar pelabuhan, datanglah seorang berkebangsaan Perancis yang datang ke Paradize Capitol Corporation untuk mencari leluhurnya bernama Louis Lontong. Diperankan oleh Cak Lontong, tentunya menjadi hal yang membuat gelak tawa penonton terpancing. Bagaimana tidak, Cak Lontong memerankan seorang berkebangsaan Perancis, namun lebih fasih berbahasa Indonesia dengan logat jawa. Rupanya kehadiran Cak Lontong disambut dengan kecurigaan dari komandan Laskar Bayaran yang diperankan oleh Balawan. Lalu ia mulai mengatur siasat supaya Cak Lontong bisa diusir dari Paradize Capitol Corporation. Dengan berbagai cara dan cerita, akhirnya Cak Lontong dianggap sebagai pencuri dan penipu, lalu diasingkan ke Hutan Gandamayu. Dimana hutan tersebut dipercaya rakyat sekitar sebagai hutan yang angker. Namun, Cak Lontong justru mampu mengetahui rahasia dari Hutan Gandamayu, dan melaporkannya pada pimpinan Paradize Capitol Corporation. Rupanya semua cerita tantang Hutan Gandamayu adalah siasat dan intrik dari komandan Laskar Bayaran, yang terungkap oleh siasat Marwoto. Meskipun nampak terjadi banyak ketidaksinambungan cerita dan nalar, namun pementasan mampu menghibur penonton yang hadir mengisi Teater Jakarta malam itu. Pementasan kali ini pun tak ayal mampu mengingatkan kita pada kasus terungkapnya laskar cyber bayaran / pasukan nasi bungkus yang beberapa waktu ini sempat ramai. Di mana banyak berita simpang siur dan sangat meresahkan. Siasat dan intrik yang mereka tebarkan demi menjegal atau melanggengkan kekuasaan pihak tertentu. Namun, di luar itu semua, pementasan ini hanyalah cerita fiksi karya Agus Noor yang disiapkan berbulan lalu. Bukan hal yang salah pula jika kita menerka suatu kejadian dengan pementasan ini. Karena pada dasarnya seni adalah salah satu media ekspresi dan sarana kritik bagi para penguasa. Lakon Laskar Bayaran pada sudut pandang yang berbeda mengajak kita melakukan ruwatan massal, yang kemudian menyadari betapa pentingnya memberi ruang hidup bagi kebudayaan. Sensasi-sensasi romantisme dan keindahan di dalamnya diharapkan mampu mengasah empati, perilaku beretika, serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Pada tanggal 20 & 21 Oktober 2017, Indonesia Kita akan kembali mementaskan sebuah cerita yang bertajuk “Koruptor Pamit Pensiun”, yang akan didukung oleh legenda hidup comedian Cak Kartolo. Dengan isu utama seputar korupsi yang telah menggerogoti seluruh sendi kehidupan. Jangan lewatkan Ibadah Budaya selanjutnya!
Terungkapnya Siasat dan Intrik “Laskar Bayaran” content media
0
0
15
MDRT.MVMNT
Jul 26, 2017
In Seni & Budaya
Diliput oleh: Ramdani Tempo hari, tepatnya tanggal 21 dan 22 Juli 2017 Graha Bakti Budaya geger dengan Pesta Para Pencuri yang turut diramaikan oleh Cak Lontong, Happy Salma, Inayah Wahid, Alexandra Gottardo, Akbar, Susilo Nugroho, Marwoto, Trio GAM (Gareng, Joned, Wisben) dan Silir Pujiwati. Pesta Para Pencuri bukanlah kejadian nyata, namun cerita fiksi garapan Butet Kertarajasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto selaku tim kreatif Indonesia Kita. Lakon ini dipentaskan guna mengkritik apa yang terjadi belakangan ini di negara kita. Merefleksikan dengan cara kritis dan jernih segala kegaduhan sosial politik yang kerap kali penuh intrik dan manipulatif. Seperti itulah, dalam konteks ini, lakon Pesta Para Pencuri itu kemudian menjadi suara kritis dari situasi hari ini. Ketika ‘para pencuri’ seperti berpesta. Dalam pementasan kali ini, Indonesia Kita mengisahkan sebuah situasi di mana para pencuri dengan pintar dan lihai meyamar menjadi apa saja, sehingga sulit dikenali. Ada dua golongan pencuri dalam lakon ini, gerombolan satu adalah ‘pencuri yang baik hati dan suka menolong rakyat’ yang merasa terganggu karena nama baiknya dicemarkan oleh berbagai cara pencurian yang disebutnya tidak bertanggung jawab dan tidak menjunjung tinggi martabat pencuri. Sementara gerombolan pencuri lainnya ingin membuktikan bahwa mereka adalah ‘pencuri yang bisa dipercaya’. Bermula saat Nyai Salma kehilangan barang wasiatnya yang paling berharga, yakni selendang Wewe Gombel. Selendang ini mampu membuat penggunanya tidak terlihat, sehingga jika para pencuri yang mengambilnya, meraka bisa mencuri tanpa terlihat. Tetapi Nyai Salma mencurigai bahwa situasi penuh kecurigaan ini sengaja dibuat oleh para keamanan wilayah, yang diperankan oleh Marwoto dan Susilo Nugroho. Kecurigaan ini didasarkan dari pemikiran ketika dalam keadaan menjadi tertib dan baik, dua petugas ini seperti kehilangan peran, karenanya dengan sengaja membuat situasi menjadi tidak aman agar peran mereka bisa kembali dibutuhkan. Meskipun lakon ini penuh kritik dan sindiran, namun dikemas ringan dan sangat menghibur dengan kemasan khas pentas Indonesia Kita. Seperti biasa, duet Cak Lontong dan Akbar selalu berhasil mengocok perut para penonton yang hadir memenuhi Graha Bhakti Budaya. Seperti pada suatu adegan di mana Cak Lontong dan Akbar saling mengeluarkan hasil curiannya. “Bar, Kita tuh kalo maling, ambil barang yang berharga” ujar Cak Lontong, kemudian Akbar mengeluarkan hasil curiannya, sebuah HP. Cak Lontong pun berkomentar “Baar, Baar, kamu tuh suruh nyolong barang berharga Baar”. “Loh, ini berharga Tooong, biarpun bekas tapi ada harganyaa” saut Akbar. Cak Lontong pun mengeluarkan sebuah gayung berlabel dari kantung curiannya, “Yang namanya barang berharga begini Baar” Cak Lontong menegaskan dengan menunjuk gayung yang tertempel bandrol harganya diikuti gelak tawa penonton. Banyak para pencuri yang kemudian menyukai puteri Nyai Salma. Demi memperebutkan cinta anak Nyai Salma, para pencuri menebar berita hoax dan saling mengakali. Di tengah kegaduhan situasi ini, Nyai Salma dan Mbok Nay, pembantu kepercayaannya yang diperankan oleh Inayah Wahid, mencium gelagat buruk, terutama ketika para pencuri berkumpul dan bersepakat melakukan pencurian besar-besaran. Para pencuri memulai aksinya dan saling mencuri. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka tengah dicuri oleh seorang Pencuri Agung yang tak lain adalah Nyai Salma. Dalam pementasan kali ini, Inayah Wahid puteri dari Alm. Gus Dur turut terlibat dalam suksesnya pementasan. “Aku tau kalo ada cewek cantik, mesti minta kenalan karo aku. Aku tau kalo aku kalo aku lebih cantik, aku kan kembar sama dia” ucap Inayah, sekejap dibalas oleh Marwoto “Kalo kembar itu biasanya sebelas dua belas, ini ko sebelas dua satu” disusul tawa para penonton. “Ati ati kowe, ono mbok’e kuwi” ujar Wisben kepada Marwoto yang di saut oleh Inayah “Iki Bu’e, jeneng’e Marwoto” Tak ayal membuat penonton semakin riuh dengan tawa. Latar kemudian berganti dengan sebuah bangunan mewah, Cak Lontong masuk kembali dalam cerita. Celetuk ringan Cak Lontong nampaknya mampu mengocok setiap orang yang hadir, tak terkecuali pemeran dalam pementasan. Seperti Alexandra Gottardo yang tertawa geli dengan celetukan Cak Lontong ketika ia salah dalam berucap. Kisah diakhiri dengan terungkapnya jati diri sang Pencuri Agung, yang mengajak para pencuri untuk bersatu mencuri nurani manusia. Mungkin sebagian dari kita menerka nerka, hal seperti inilah yang terjadi di negeri kita. Di mana kegaduhan yang terjadi saat ini memang sengaja dikondisikan menjadi tidak aman dan nyaman, guna menguntungkan pihak pihak tertentu. Namun di luar dari praduga tersebut, pentas ini adalah bagian dari kebebasan berekspresi, yang bisa saja tidak dimaksudkan untuk menyindir siapapun. Mengutip dari Agus Noor, “Saya mencoba membayangkan ‘logika pencuri’ untuk membenarkan koruptor yang kini bersatu: Sesungguhnya koruptor itu tidak pernah mengambil uang negara, tetapi justru menyelamatkan uang negara dengan menyimpannya di rekening pribadi. Jika ketahuan, uang itukan bisa dikembalikan kepada negara. Bayangkan kalau tidak ‘diselamatkan sementara’ uang negara bisa habis untuk proyek-proyek yang pada akhirnya terbengkalai. Lagipula koruptor tidak mementingkan diri sendiri, ia selalu mementingkan partai politik, rekan-rekan sejawatnya juga kroni-kroninya. Itulah sebab korupsi berlangsung secara adil dan merata. Hari ini, kita mesti membiasakan diri dengan segala logika konyol seperti itu.” “Namun sebagai manusia yang menjaga kesehatan jiwa dan akalnya, sepatutnya kita tidak mencuri” Tambah Agus Noor.
Puteri Gus Dur Terlibat Dalam “Pesta Para Pencuri" content media
1
1
65
MDRT.MVMNT
Apr 10, 2017
In Seni & Budaya
Lakon kocak dan penuh satir khas Teater Gandrik yang diproduseri Butet Kertarajasa, ditulis oleh Agus Noor dan disutradarai oleh G. Djaduk Ferianto terasa spesial. Dibentuk sejak 34 tahun lalu di Yogyakarta, sebagai bagian dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Teater Gandrik sempat vakum selama 2 (dua) tahun dari pementasan sebelumnya yaitu “TANGIS” pada tahun 2015. Pagelaran yang bertajuk “HAKIM SARMIN” terasa spesial bukan saja karena menyisipkan dialog dalam bentuk lantunan-lantunan lagu, namun karena isu yang dibawakan begitu kontekstual. Pementasan ini digelar pada 29-30 Maret di Taman Budaya Yogyakarta dan pada 5-6 April di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “...ketika keadilan dan kegilaan sulit dibedakan, yang salah dibenarkan yang benar disalahkan as...sem to?! Begitu pula pasal-pasal hukum yang sejak awal diniatkan menegakkan keadilan, kita tahu seringnya diperjualbelikan! Aparat hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim, hari ini hobinya kayak balita, seneng disuapin...” Ujar Butet Kertarajasa dalam prolognya. Dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim berbuat nekat memilih masuk rumah sakit jiwa yang disebut Pusat Rehabilitasi Hakim. Para hakim yang menolak masuk Pusat Rehabilitasi, dikabarkan mati terbunuh. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan. Hakim Sarmin (diperankan oleh Butet Kertarajasa) adalah salah satu hakim yang memilih masuk ke dalam tempat rehabilitasi, yang dianggap gila karena keputusannya membebaskan seorang koruptor. Lakon ini mengisahkan sebuah zaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” kata Hakim Sarmin. Pimpinan Pusat Rehabilitasi, dr. Menawi Diparani (diperankan oleh Susilo Nugroho) mengatakan telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. “Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar,” ujarnya. Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Hakim Sarmin bersama para hakim yang berpura-pura gila melakukan rapat di dalam Pusat Rehabilitasi Hakim dan merencanakan pemberontakan terhadap penguasa dengan membuat krisis hakim. Dalam rapat tersebut Hakim Sarmin berorasi “Kita hidup di tengah masyarakat yang kekurangan akal sehat. Kebenaran tergantung kepentingan dan keadaan. Revolusi mental tanpa revolusi hukum adalah omong kosong...” ujar Hakim Sarmin disusul dengan tepuk tangan riuh dari barisan kursi penonton. “Tahi... tahi... tahi...” terdengar teriakan kecil Hakim Prihatin (diperankan oleh Cilik Tri Bunowati) dari ujung panggung seperti melecehkan isi orasi Hakim Sarmin, yang membuat penonton tertawa kegelian. Teriakan tersebut bukanlah melecehkan melainkan Hakim Prihatin berpura-pura gila dengan memegang tahi-nya sendiri. Gerakan “Revolusi Keadilan” Hakim Sarmin pun mulai dijalankan, banyak dari para hakim, pengacara, bahkan dr. Menawi Diparani pemimpin dari Pusat Rehabilitasi pun tak mampu mengendalikan gerakan tersebut. Pementasan ini padat konflik dan dan humor satir. Sebagai contoh adalah ketika Hakim Sarmin diminta kesediaan untuk uji kejujuran oleh dr. Menawi dengan pertanyaan “Kenapa kamu membebaskan pejabat korup itu Hakim Sarmin, kenapa tidak kau hukum mati saja, atau dimiskinkan saja?” tanya dr. Menawi. “Menghukum mati koruptor sama saja dengan melepaskannya dari tanggung jawab, dokteeeer. Sedangkan memiskinkan koruptor itu bertentangan dengan konstitusi negara. Dalam undang-undang diatur bahwa fakir miskin dan anak terlantar adalah tanggung jawab negara. Kalo koruptor miskin dan anak-anaknya terlantar maka itu juga akan menjadi tanggung jawab negara, itu akan membebani anggaran negara...,”seketika penonton tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Hakim Sarmin. “...lagi pula itu tidak sejalan dengan program pemerintah yang ingin mengurangi jumlah angka orang miskin. Bagaimana mungkin ingin mengurangi jumlah orang miskin kok malah menambahi jumlah orang miskin dengan memiskinkan koruptor? Mikiiiirr..., mikiiir pak dokteeer!” lanjut Hakim Sarmin, yang seketika membuat penonton semakin tertawa kegelian dan bertepuk tangan. Lakon "Hakim Sarmin" mengingatkan kita pada kisah Hakim Sarpin yang pada saat itu membebaskan seorang pejabat kepolisian dari kasus "rekening gendut". Mengadopsi cerita tersebut atau tidak bukanlah hal utama, namun pelajaran yang bisa kita ambil adalah bagaimana kita dapat menjaga kewarasan kita di tengah kegilaan dan kisruh politik yang terjadi belakangan ini. Suasana panas pilkada yang mengorbankan kehormatan dan keimanan, hanya demi sebuah kepentingan. Kewarasan dan akal sehat tentu menjadi hal yang harus selalu kita jaga. Rakyat yang waras adalah harapan bangsa karena sumber daya alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati serta kekayaan kebudayaan sudah lama diabaikan. Mengutip kata-kata Hakim Sarmin, "demi bangsa dan negara!"
HAKIM SARMIN Tebar Kegilaan di Graha Bhakti Budaya content media
1
0
212
MDRT.MVMNT
Mar 14, 2017
In Seni & Budaya
Pada Jumat 10-11 Maret 2017, Indonesia Kita mengawali pertunjukan ditahun 2017 dengan lakon Presiden Kita Tercinta. Ini merupakan pertunjukan ke-23 Program Indonesia Kita. Pertunjukan yang digawangi oleh Butet Kertarajasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto (selaku tim kreatif Program Indonesia Kita) sukses memecah tawa para hadirin yang hadir menikmati pertunjukan Presiden Kita Tercinta. Presiden Kita Tercinta menampilkan naskah lama yang ditulis oleh Agus Noor. Di mana naskah tersebut adalah naskah yang beliau buat di era Presiden Gus Dur, yang disesuaikan dengan keadaan dan isu politik yang berkembang saat ini. Dalam lakon ini berkisah tentang sebuah negeri republik yang dilanda isu makar. Presiden dinyatakan menghilang, ada pula yang mengabarkan presiden telah mati dieksekusi. Hal ini menimbulkan suasana negeri menjadi mencemaskan. Dalam kegaduhan semacam ini, aparat keamanan segera memutuskan untuk mengadakan pemilihan presiden pengganti. Keputusan ini menimbulkan reaksi baru. Banyak dari tokoh negeri yang merasa paling pantas dan layak menjadi presiden pengganti. Hal ini menimbulkan banyak isu, fitnah, dan penyebaran berita hoax terjadi di mana-mana. Namun, yang tidak diduga ialah terpilihnya presiden dari kaum petani. Kemenangan petani dalam pemilihan presiden ini pun ternyata hanyalah sebuah trik. Nyanyian seriosa dari Daniel Christianto dan Sruti Respati mengawali pertunjukan, didukung oleh iringan musik gubahan Arie Pekar serta tarian dari I Move Project arahan Rita Dewi membawa para hadirin terbawa oleh suasana serius sampai berakhirnya pertunjukan. Namun, hadirnya Trio GAM (Guyonan ala Mataraman) dan duet maut dari Akbar dan Cak Lontong, bak memecah keseriusan yang dibangun dalam pertunjukan ini dengan gelak tawa. “Sesakti sakti ne uwong, pitekku luweh sakti loh” ucap Gareng Rakasiwi. “Lah ko iso ngono?” tanya Joned dan Wisben Antoro. “Iyaaa, gimana ora sakti, sopo wae uwonge, mesti pincang nek bar nginjek telek’e pitekku” jelas Gareng Rakasiwi. “Nek kuwi ki udu sakti yoo Reeng, kuwi jijik jenenge!” bantahan Joned yang memecah tawa hadirin. Keseruan lain pun hadir ketika duet Cak Lontong dan Akbar muncul dengan pakaian berwarna merah dan ungu mentereng dan topi panjang layaknya pesulap. Muncul pada suasana yang sendu saat pemakaman presiden terdahulu, yang seharusnya menjadi suasana serius namun pecah karna banyolan mereka. “Saya datang ke sini untuk menghibur...” kata Cak Lontong kepada Istri Presiden. Dengan nada kesal istri sang presiden menjawab “Aku tidak butuh dihibur!” dengan raut wajahnya yang sendu menahan duka atas kematian suaminya. Cak lontong mendekat dan berkata “Anda jangan Ge-er. Saya datang untuk menghibur penonton”. Tak ayal jawaban Cak Lontong membuat seluruh hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Tak hanya sampai di situ, belum selesai penonton tertawa Cak lontong kembali melempar guyonan. “keliatan dari bajunya item-item itu paranormal” ujar Cak Lontong kepada Akbar. “Oooh, kalo putih-putih?” saut Akbar. “Paramedis!” jawab Cak Lontong diikuti gelak tawa penonton. “Kalo pake batik?” tanya akbar kembali. “Ya, para hadirin!” jawab Cak Lontong dan pecahlah tawa hadirin semua. Dalam pertunjukan Presiden Kita Tercinta, banyak sekali sentilan atas keadaan politik kita saat ini yang dikemas ringan dan penuh canda. Contohnya saat Cak Lontong mengomentari para tentara yang berhitung dan berhenti di angka satu. “Dari tadi satu satu terus, kan ini putaran kedua sudah ngga ikut” tentunya semua hadirin yang ada tertawa kegelian. Atau saat Cak Lontong menguji kemampuan intelektual para tentara dengan pertanyaan “Sebutkan 4 nama ikan...” dan salah seorang tentara menjawab “ikan kon.....” yang membuat tawa kembali pecah di gedung Teater Jakarta malam itu. Dengan harga tiket berkisar Rp 200 ribu untuk balkon, Rp 300 ribu untuk kategori VIP, Rp 500 ribu Kategori Platinum, hingga Rp 1 juta untuk kategori Utama, dengan 1.200 tiket yang tersedia semua ludes terjual dalam sekali pertunjukan. Hal ini menunjukkan kesuksesan ibadah budaya pada 10-11 Maret 2017 lalu.
"Presiden Kita Tercinta" Sukses Memecah Tawa Teater Jakarta content media
2
0
452

MDRT.MVMNT

More actions
bottom of page