JAKARTA, 28 Juni 2018 – Menikmati indahnya semilir jazz dan merdunya kawasan pegunungan telah menjadi sebuah pengalaman yang luar biasa autentik dari para penonton Jazz Gunung selama sepuluh tahun terakhir. Perpaduan antara menyaksikan musisi-musisi kampiun beraksi sembari menikmati kesejukan serta dahsyatnya pemandangan alam pegununungan yang beratapkan langit, berdinding cemara serta gemerlap bintang jelas sangat sulit untuk dicari tandingannya dengan festival musik di berbagai belahan dunia lain.
Merayakan keragaman selalu menjadi salah satu ciri khas dari Jazz Gunung. Tak hanya menyuguhkan genre musik jazz semata melainkan pula world music, pop, funk, dub, reggae, soul, R&B hingga folk. Para musisi dan penonton yang hadir selama sembilan tahun terakhir pun berasal dari lintas generasi dan sangat beragam, datang dari berbagai latar belakang profesi, suku bangsa, ras, hingga agama.
Tahun ini, genap menginjak satu dasawarsa penyelenggaraan Jazz Gunung. Pergelaran jazz internasional bernuansa etnik yang diadakan di atas ketinggian 2000 meter dari permukaan laut ini akan hadir berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Jika biasanya hanya dilangsungkan selama dua hari, tahun ini Jazz Gunung akan digelar selama tiga hari berturut-turut mulai tanggal 27, 28 dan 29 Juli 2018 di panggung amfiteater terbuka dengan sistem tata suara kelas dunia yang terletak di Jiwa Jawa Resort Bromo, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Jazz Gunung sejatinya merupakan sebuah pertunjukan musik yang selalu menawarkan keakraban antara para musisi dengan para penontonnya.
Pada Hari Pertama (Jumat, 27 Juli 2018) Jazz Gunung akan menampilkan Kramat Ensemble Percussion, Tohpati Bertiga, Tropical Transit, Barry Likumahuwa, hingga Andre Hehanussa. Sementara di Hari Kedua (Sabtu, 28 Juli 2018) bakal tampil Ring of Fire Project besutan Djaduk Ferianto, Surabaya All Stars: Tribute to Bubi Chen, Bintang Indrianto – Soul of Bromo dan Barasuara.
Persembahan berbeda bakal hadir pada Hari Ketiga (Minggu, 29 Juli 2018) dengan konsep Jazz Gunung Pagi-Pagi. Pada pukul 05:00 pagi para penonton akan dibangunkan dari tidurnya untuk menyambut matahari terbit sembari menyeruput kopi khas Bromo serta alunan musik live yang dimainkan oleh line-up istimewa; duo pasutri Endah N Rhesa, Bianglala Voices, trio pop vintage NonaRia hingga kelompok musik apik Bonita & the Hus Band.
Sementara itu Jungle By Night, kelompok musik Afrobeat, jazz, funk nan keren asal Amsterdam, Belanda juga telah mengkonfirmasikan penampilan mereka untuk pertama kalinya di Indonesia hanya di Jazz Gunung 2018. Selain itu, Insula yang merupakan trio musik kontemporer perrpaduan musik tradisional dan modern yang terinspirasi dari musik Al-Jazeera dan musik kebudayaan Martinik asal Perancis juga telah dipastikan akan memberikan penampilan terbaiknya di Jazz Gunung Bromo 2018.
“Setelah 10 tahun mendengar besarnya nama festival Jazz Gunung, akhirnya kami mendapatkan kesempatan tampil untuk pertama kalinya dengan format berdua. Bermain di sebuah festival di alam terbuka pasti akan ada getaran dan respons yang natural, spontan, serta interaksi langsung dengan penonton dan suasana alam sekitar. Udara yang sejuk cenderung dingin (menurut kabar dari beberapa teman yang sudah tampil di sana) menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Semoga jari-jari ini tidak membeku dan suara tidak tercekat. Kami sangat menantikan tampil di Jazz Gunung tahun ini!” ujar Endah Widiastuti dari Endah N Rhesa.
Selain tampil duo, Endah rencananya juga bakal memperkuat penampilan Bintang Indrianto – Soul of Bromo pada malam sebelumnya, kebetulan ia juga tampil sebagai musisi tamu di album rekaman terbaru Bintang Indrianto. Proyek album Soul of Bromo tersebut memang sengaja digarap untuk dirilis sekaligus dimainkan berbarengan dengan Jazz Gunung 2018. Bintang sengaja menginterpretasikan foto-foto lansekap Bromo yang diabadikan oleh salah seorang penggagas Jazz Gunung Sigit Pramono ke dalam komposisi jazz.
Pada tahun ini pula penghargaan khusus Jazz Gunung Award akan dianugerahkan kepada mendiang maestro pianis jazz legendaris Bubi Chen. Sebuah pementasan khusus yang didedikasikan kepada almarhum akan menampilkan beberapa musisi jazz asal kota Surabaya. Penghargaan yang sudah dilakukan sejak dua tahun lalu ini sebelumnya dianugerahkan kepada mendiang Ireng Maulana pada 2016 dan mendiang Jack Lesmana pada 2017.
Sejak penyelenggaraannya yang pertama hingga ke sepuluh nanti, tiga orang penggagas Jazz Gunung masih setia bersinergi untuk memberikan suguhan yang terbaik kepada para penonton. Mereka adalah Sigit Pramono, seorang penggemar berat Bromo yang merupakan mantan bankir nasional yang memiliki hobi fotografi dan mendengarkan jazz, serta dua bersaudara seniman ternama asal Yogyakarta, Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto.
Jazz Gunung diawali dari kegelisahan seorang Sigit Pramono yang sering bolak-balik ke Gunung Bromo untuk menyalurkan hobi fotografinya di sana namun kemudian merasa miris menyaksikan pariwisata Bromo hanya diperkenalkan sebagai destinasi untuk menyaksikan matahari terbit saja. Padahal potensi pariwisata Bromo lebih dari itu. Hal ini berdampak para turis domestik maupun asing hanya berkunjung singkat saja di sana, kurang dari sehari dan kemudian pulang. Menurut Sigit, hal ini tidak banyak memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat di sekitar kaki gunung Bromo. Ia kemudian mengajak Butet dan Djaduk untuk menggagas acara Jazz Gunung, dengan harapan para turis akan tinggal lebih lama di Bromo dan menghabiskan lebih banyak uang lagi bagi masyarakat di sekitar sana.