top of page
Writer's pictureYudika Nababan

Princess Pantura, Romantika Musik Dangdut Dalam Panggung Teater Komedi


Salah satu budaya yang tumbuh dan berkembang sangat kuat adalah musik dangdut. Bermula dari lagu-lagu Melayu yang mengalami adaptasi dari film dan musik India, dan kemudian semakin populer dengan sebutan musik dangdut. Kehadiran musik dangdut yang disepelekan oleh sebagian masyarakat, tak membuat musik genre ini mati, namun sebaliknya, semakin lama justru semakin berkembang dan semakin bervariasi.

Mengambil judul “Princess Pantura”, maka pentas Indonesia Kita kali ini mengolah lagu-lagu dangdut pantura sebagai dasar cerita. Sebagai sub genre dangdut, musik dangdut pantura merupakan cermin budaya dan gambaran sosial masyarakat pesisir, yang terbuka dan energik, sekaligus sebagai ekspresi kreatif untuk menyatakan identitas.

Bagi penulis cerita dan sutradara Agus Noor, pentas yang mengangkat musik dangdut sudah cukup lama menjadi obsesinya, “Mengolah lagu-lagu dangdut pantura ke dalam kisah bergaya komedi adalah kerja yang asyik dan menarik, terutama karena saya juga anak pantura, yang tumbuh dengan karakteristik lagu dangdut sejak saya masik kanak-kanak di kampung”, ujarnya.

Princess Pantura berkisah tentang persaingan Sruti dan Silir, dua biduan kampung yang ingin terkenal sebagai penyanyi dangdut. Keduanya terpesona dengan kesuksesan, terobsesi menjadi artis yang terlihat gemerlap di bawah sorot lampu panggung dan kamera televisi. Keduanya melakukan berbagai cara untuk mewujudkan mimpi, ikut lomba menyanyi dan bersaing dengan para kontestan lain. Sruti dan Silir memasuki dunia persaingan, berebut kesempatan untuk menjadi terkenal. Ada Inayah Wahid juga ingin menjadi penyanyi dangdut. Ada Kelompok Trio GAM yang menyamar menjadi biduan, agar bisa ikut dalam rombongan orkes dangdut, sebab kalau penyanyi laki-laki kurang disukai penonton. Ada pula pemusik dangdut lainnya, seperti Mucle dan Arie Kriting, juga ingin menjadi superstar dangdut dengan bergaya seperti Raja Dangdut.

Tawaran menjadi artis terkenal memang menggoda, penuh bujuk rayu. Apalagi ketika mereka ditawari untuk menjadi artis dalam kampanye pilkada. Penyanyi dangdut pantura di panggung politik adalah daya pikat untuk mendatangkan massa. Tentu saja, massa yang berkumpul lebih menyukai hiburan para penyanyi dangdut itu ketimbang pidato-pidato jurkam atau para politisi yang membosankan. Apa jadinya panggung kampanye politik tanpa kehadiran para penyanyi dangdut itu?

Sebagaimana tercermin dalam banyak lagu dangdut pantura, penderitaan dan kesedihan disampaikan dengan keriangan musik dan goyangan. Politik boleh semakin menjengkelkan, hidup boleh semakin sulit, tapi kita mesti tetap bergoyang. Hidup barangkali memang menjadi semakin asyik bila dirayakan dengan cara asyik bergoyang.

 

Program Indonesia Kita 2018

Budaya Pop: Dari Lampau Ke Zaman Now

  • Pentas ke: 28

  • Judul Pentas: Princess Pantura

  • Jadwal : 3 kali pentas Jumat, 20 April 2018 - Pukul 20.00 WIB Sabtu, 21 April 2018 - Pukul 14.00 WIB dan Pukul 20.00 WIB

  • Venue: Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta.

  • Tim Kreatif : Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto

  • Naskah & Sutradara: Agus Noor

  • Penata Musik: Djaduk Ferianto

  • Artistik: Ong Hari Wahyu

  • Pendukung: JKT48, Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Arie Kriting, Trio GAM (Wisben, Joned & Dibyo Primus), Mucle, Tarzan, Inayah Wahid, Silir Pujiwati, Sruti Respati, Daniel Christianto dan Orkes Melayu Banter Banget.

HTM Princess Pantura:

  • PLATINUM: Rp. 750.000

  • VVIP: Rp. 500.000

  • VIP: Rp. 300.000

  • BALKON: Rp. 150.000

Reservasi Tiket:

  • www.kayan.co.id

  • www.blibli.com

Informasi:

  • Kayan Production & Communications

  • 0856-9342-7788

  • 0895-3720-14902

  • 0813-1163-0001

 

Tentang Program Indonesia Kita

Indonesia Kita mulai menggelar pertunjukan sejak tahun 2011, dan sejak itulah pentas-pentas yang diadakan menjadi “laboratorium kreatif” bagi berbagai seniman, baik lintas bidang, lintas kultural dan lintas generasi. Dari satu pentas ke pentas lainnya, pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah ikhtiar untuk semakin memahami bagaimana proses “menjadi Indonesia”.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah sebuah “proses menjadi”, yakni sebuah proses yang terus menerus diupayakan, proses yang tak pernah selesai, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu menjadi 'sebuah bangsa yang berkebudayaan’.

Indonesia Kita telah menjadi sebuah forum seni budaya yang bersifat terbuka, yang mempercayai jalan seni dan kebudayaan sebagai jalan yang sangat penting untuk mendukung 'proses menjadi Indonesia” itu. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan, maka merawat semangat ke-Indonesia-an menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus diupayakan.

Indonesia Kita yang secara berkala dan rutin diselenggarakan, pada akhirnya telah mampu meyakinkan penonton untuk melakukan apa yang seringkali disebut oleh Butet Kartaredjasa, sebagai “ibadah kebudayaan” yakni semangat untuk bersama-sama mendukung dan mengapresiasi karya seni budaya. Pentas-pentas Indonesia Kita mendapat apresiasi yang baik, tanggapan positif, dan mampu menjadi ruang interaksi tidak hanya antara seniman dan masyarakat penonton, melainkan juga antara penonton dan penonton. Sebuah komunitas kultural terbentuk, di mana penonton kemudian menghadiri pentas-pentas Indonesia Kita, sebagai wujud dari “ibadah kebudayaan”.

135 views0 comments
bottom of page