top of page

LSPR PAC Meramu Cerita Rakyat Menjadi Kolaborasi Karya


Meramu diberi batasan sebagai suatu aktivitas untuk mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menjadikan satu. Dalam hal ini, ibarat obat yang dibuat untuk menyehatkan tubuh, LSPR mencoba untuk meramu cerita rakyat menjadi sebuah karya pertunjukan teater dan film. Ada usaha untuk “menyehatkan” masyarakat lewat karya seni. Di tengah masa posmodern—tempat masyarakat berpikir secara skeptis terhadap budaya, sastra, seni, dan filsafat—LSPR mengangkat kearifan lokal Indonesia melalui cerita rakyat untuk diapresiasi kembali keberadaannya. Quoting the founder and director of LSPR-Jakarta, Prita Kemal Gani said, “LSPR-Jakarta believes that every performance on stage is a communication activity which tells us about life in the form of arts.” Ada banyak pelajaran yang dapat diambil dari sebuah pertunjukan seni. Oleh karena itu, sebuah pengalihwahanaan karya sastra cerita rakyat menjadi film atau pertunjukan teater adalah salah satu cara agar masyarakat dapat kembali melirik kearifan lokal. Dengan terjadinya kolaborasi antara film, teater, dan cerita rakyat, diharapkan masyarakat dapat melakukan katarsis tentang kehidupan.

Rabu, 3 Februari 2016, hasil ramuan tersebut pun dipertunjukkan ke hadapan masyarakat. Mengenai keberhasilan hasil ramuan tersebut—apakah menyehatkan atau tidak—dapat dilihat dari kemasan eksekusi pertunjukan. Acara yang mereka angkat berjudul Maraton Film dan Teater: Adaptasi Cerita Rakyat Indonesia. Dilihat dari tajuknya, memang ada beberapa film dan pertunjukan teater yang akan dimainkan di hari tersebut. Maraton Film dan Teater dipertunjukkan di Prof. DR Djajusman Auditorium and Performance Hall, LSPR, Jakarta. Terdapat tiga waktu pertunjukan yang dapat kita pilih, yakni pertunjukan pertama pada pukul 13.00—15.00, pertunjukan kedua pada pukul 16.00—18.00, dan pertunjukan ketiga pada pukul 19.00—21.00. Sekitar pukul 12.30, venue sudah mulai didatangi pengunjung. Beberapa pengunjung yang telah memiliki tiket duduk-duduk di lobi. Akan tetapi, ketika waktu menunjukkan pukul 13.00, penonton tidak juga dipersilakan masuk ruangan teater. Namun demikian, setelah masuk pun penonton harus menunggu beberapa menit lagi sampai pertunjukan akhirnya dimulai. Beberapa tamu VIP seperti Ms. LSPR 2015 dan runnerup terlihat menduduki bangku baris pertama. Ketika pertunjukan dimulai—sekitar pukul 13.45—penonton yang berada di dalam ruang teater tidak begitu ramai. Dari sekitar 90 kursi yang berada di ruangan tersebut, kira-kira hanya 20—30 kursi yang terisi. Dapat diperkirakan bahwa waktu pertunjukan yang dilaksanakan di siang hari kurang populer karena para mahasiswa pun masih berada di kelas. Dari hal tersebut dapat disimpulkan pula bahwa pertunjukan ketigalah yang paling mungkin untuk diramaikan oleh penonton. Terdapat enam judul cerita rakyat yang dipertunjukkan dalam Maraton Film dan Teater. Adaptasi tersebut pun diambil dari cerita rakyat yang terbilang cukup populer. Judul-judul tersebut adalah Kancil, I La Galigo, Calon Arang, Malin Kundang, Batu Menangis, dan Jaka Tarub. Maraton dilakukan dengan cara mempertunjukkan drama dengan satu judul terlebih dahulu, lalu diikuti dengan pemutaran film dengan judul yang sama. Drama menggambarkan cerita rakyat asli (tradisional), sedangkan film adalah modernisasi hasil adaptasi dari cerita rakyat. Judul pertama adalah Kancil yang mengisahkan tentang seekor hewan yang terkenal atas kecerdikannya dalam menipu hewan lain. Usaha kancil untuk menipu seekor anjing menjadi sorot utama pertunjukan drama/teater. Adapun dalam pemutaran film pendek—setelah drama kancil selesai—adaptasi dilakukan dengan menampilkan tokoh yang melakukan korupsi. Film dari Kancil mendapatkan tepuk tangan dari penonton karena berhasil melakukan penggambaran yang tepat dari cerita rakyat di kehidupan masa kini. Penonton pun dapat mengambil intisari cerita di kehidupan mereka. Hal yang patut diacungi jempol dari acara Maraton Film dan Teater adalah kesediaan properti dan kostum. Dari kapal sampai kapak dibuat dengan baik dan halus. Kostum-kostum kerajaan yang dipakai oleh pemain terlihat begitu megah. Kedua hal tersebut menjadi tonggak utama dalam pertunjukan teater di Maraton Film dan Teater LSPR. Akan tetapi, esensi teater agak berkurang karena para pemain menggunakan mic tempel. Teater pertama kali muncul di kebudayaan Yunani. Pada saat itu, tentu masyarakat belum menggunakan mic tempel untuk mempertunjukkan karyanya. Oleh karena itu masyarakat Yunani menggunakan arsitektur amphiteater, agar teriakan pemain dapat terdengar oleh seluruh penonton. Vokal pemain menjadi salah satu unsur penting seni teater. Sebuah pertunjukan teater jarang menggunakan mic tempel dan lebih banyak menggunakan mic gantung. Hal tersebut dikarenakan seni olah napas dan vokal tidak dapat dilakukan semua orang. Terdapat latihan khusus untuk mengolah volume dan artikulasi. Penggunaan mic tempel tentu menandakan ketiadaan pengolahan khusus terhadap vokal pemain. Namun, hal tersebut mungkin terjadi karena pertunjukan ini dipersiapkan secara kilat sebagai salah satu hasil mata kuliah Performing Arts Communication (PAC). Proses latihan pun diperkirakan tidak sampai tiga bulan. Padahal, sebuah pertunjukan teater bisa memakan proses selama 6 bulan—1 tahun persiapan. Hal yang patut diapresiasi dari acara Maraton Film dan Teater adalah usaha LSPR untuk meramu karya seni. Kolaborasi film dan teater adalah usaha yang baik untuk memperkenalkan cerita rakyat kembali kepada masyarakat. Dalam tujuannya tersebut, acara ini dapat terbilang cukup berhasil, terutama dari film-filmnya yang menohok kehidupan masa kini dengan menggunakan adaptasi cerita rakyat. Renata Tirta Kurniawan, Dekan Departemen Performing Arts Communication (PAC) di LSPR mengatakan bahwa, “LSPR PAC mengajarkan mahasiswa untuk berkomunikasi dengan seni pertunjukkan. Hal tersebut akan mengantarkan mereka kepada pembentukan pribadi yang baik dalam meraih kekayaan dan popularitas.” LSPR PAC’s Maraton Film dan Teater has done a great job in their attempt to reintroduce Indonesia’s local wisdom.

65 views0 comments
bottom of page