Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza
Tahun baru belum lama berlalu. Masih ingatkah kita dengan resolusi awal untuk menjadi pribadi yang “baru?” Masih dalam jalur, masih sekadar ingat tetapi memulainya nanti saja, atau malah sudah lupa sama sekali? Seperti halnya kebanyakan manusia yang kerap membuat janji baru untuk hidupnya, Meuthia Rizky kerap melakukan hal yang sama, meski janji itu tak selalu dicanangkan tiap awal tahun baru. “Saya pikir, banyak daftar janji yang terlewat karena kita belum mengamini betul tujuan kita menjadi pribadi yang baru. Atau, kita terlewat malas,” kata perempuan yang akrab disapa Thia itu.
Dalam peluncuran buku terbarunya, “Aku, Edisi Baru!” yang berlangsung pada Jumat, 13 Februari 2015 di Restoran Seroeni, Thia berbagi kisah dan refleksi diri tentang berubah menjadi pribadi yang baru. Menilik pengalaman hidupnya, ia meyakini jika emosi lah yang telah memengaruhi akal, pikiran, dan tindakan seseorang. Hal itu juga yang ia alami. Acara berjalan secara interaktif mulai dari Thia yang bercerita hingga dialog tanya jawab dengan para peserta dan rekan media.
“Saya bukan psikolog. Yang saya bagi dalam buku ini seluruhnya berdasarkan pengalaman pribadi. Siapa tau ada yang bisa dipelajari agar tak perlu mengulangi kesalahan saya,” katanya.
Sehari-hari, Meuthia menjalankan bisnis pemasaran jaringan yang membuatnya bertemu banyak orang. Dari hal tersebut, ia banyak belajar dan memahami ragam karakter manusia. Termasuk bagaimana sisi emosi manusia bisa memengaruhi kehidupan mereka. “Kalau bagi saya, urusan dompet, hati, dan pikiran paling gampang mengguncang emosi,” ujar ibu dua anak yang sudah beranjak dewasa itu. Dalam bukunya, Thia banyak merefleksikan pengalamannya tentang minder, boros, perasaan beruntung, perasaan iba, serta ketidakmampuannya untuk bilang “tidak.” Thia yang sempat depresi berkepanjangan pun akhirnya bangkit untuk menjadi inspirasi. Kuncinya, Thia mengganti cara pandang. Tak lagi menempatkan diri sebagai “korban,” tapi sebagai pemegang kendali kehidupan. Di buku ini, Thia berusaha mengingatkan, bahwa masing-masing dari kita sudah memiliki modal untuk bahagia lahir batin asal mau menjalani kehidupan dengan mental juara. “Saya belum pernah menemukan orang-orang kuat yang tidak memiliki masa lalu berat,” timpal psikolog Gisella Tani Pratiwi. Namun bukan berarti, setia orang yang saat ini terpuruk bakal menjadi orang berhasil nantinya. Sebab semua dipengaruhi oleh sudut pandang. Suatu peristiwa hanyalah peristiwa, pelakunya lah yang melabeli itu sebagai tantangan, masalah, atau hambatan. “Semakin positif sudut pandang kita, maka kita akan semakin siap untuk move on,“ kata psikolog yang juga kordinator Yayasan Pulih.
Menurutnya langkah pertama yang paling mendasar ialah menerima diri apa adanya, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangan. “Dengan begitu, kita jadi lebih siap dengan kondisi apa yang membuat kita nyaman atau tidak. Jadi tidak ada istilah ‘kaget’ atau ‘stres,’” tambahnya.
Menjadi diri yang baru bukan berarti meniru. Tapi memunculkan diri dengan kualitas yang terbaik artinya bercermin untuk mengenal diri sendiri, membuang edisi lama dan bersiap membuat edisi baru. Kamu, edisi baru!