top of page

Menapak Tilas Sejarah Kota Tua Cina Bersama KHI

Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza

Jika menilik sejarah Indonesia, orang-orang dari Tiongkok Daratan telah semenjak ribuan tahun lalu menjejakkan kaki di Nusantara. Beberapa catatan yang ditulis oleh para agamawan, semisal Fa Hien dari abad ke-4 dan I Ching dari abad ke-7 menyebutkan jika mereka telah singgah ke Nusantara untuk mempelajari bahasa sansekerta. Oleh karena itu, maka tak salah jika budaya Tiong Hoa sudah melekat di Nusantara, juga Jakarta. Mengingat eratnya sejarah Tiongkok dengan Indonesia, maka tak salah rasanya jika Komunitas Historia (KHI) menggelar China Town Journey atau Tur Kota Cina Tua guna menyemarakkan datangnya Tahun Baru Cina, atau yang juga disebut dengan Hari Raya Imlek. Kegiatan tur yang diselenggarakan pada hari Minggu, 6 Februari 2015 tersebut diisi dengan jalan kaki mengunjungi bangunan-banguna peninggalan warga Tiong Hoa tempo dulu di Batavia.

Kegiatan yang sebelumnya telah disebarluaskan di berbagai situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter ini berhasil menyedot perhatian warga Jakarta. Terbukti, peserta yang meregistrasikan diri untuk kegiatan ini mencapai hampir 500 orang. Pihak panitia pun menutup pendaftaran satu hari sebelum hari H agar tidak terjadi pelonjakan jumlah peserta, mengingat jumlah guide yang akan memandu peserta berkeliling pun terbatas. Menurut Asep Kambali, ketua sekaligus pendiri KHI menyatakan, “Sampai H-2 masih banyak orang yang mau mendaftar tapi karena jumlah peserta hampir mencapai 500-an orang, maka pendaftaran kami tutup pada H-1 agar menjaga para peserta tetap fokus dan menikmati informasi yang diberikan oleh guide.”

Hujan yang mengguyur sejak subuh tidak menyurutkan semangat peserta yang telah mendaftar untuk datang dan mengikuti kegiatan tur ini. Para peserta tur berkumpul di Museum Fatahillah pukul 07.30 WIB. Dengan menggunakan baju berwarna merah sebagai dress code, tak ayal komunitas ini langsung menjadi perhatian umum. Sambil menunggu hujan reda, Asep Kambali membacakan aturan dan informasi umum mengenai tempat-tempat yang akan dikunjungi.

Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai warna pita yang diberikan panitia saat registrasi ulang dan berjalan mengikuti guide-nya masing-masing. Tur dimulai dari depan Museum Fatahillah, Asep Kambali yang menjadi guide rombongan pita merah memberikan informasi singkat tentang museum Fatahillah. Batu-batu yang berada di halaman Museum adalah batu yang khusus dikirim dari Belanda, nilainya mencapai miliaran rupiah. Kemudian perlahan rombongan bergerak ke arah menuju Kali Besar. Sambil berjalan Asep Kambali yang akrab disapa Kang Asep ini terus memberikan informasi berkaitan dengan gedung-gedung lama peninggalan warga Tiong Hoa, di antaranya gedung Asuransi Jasa Rahardja, dulunya juga dipakai sebagai kantor asuransi dan masih berkaitan dengan Jasa Rahardja. Melewati Jalan Pintu Kecil, konon karena di daerah tersebut terdapat sebuah pintu kecil, rombongan terus bergerak menuju Pasar Pagi Lama Asemka yang terkenal murah baik untuk pembelian grosir maupun eceran. Rombongan bergerak memasuki daerah pemukiman, Jln. Perniagaan, di kawasan ini masih banyak terdapat toko-toko kelontong yang digabung dengan rumah (Rumah Toko atau disingkat Ruko). Dahulu terdapat dua bentuk gaya arsitektur yang banyak digunakan oleh rakyat Tiong Hoa, yaitu gaya Pelana Kuda dan Burung Walet. Gaya Pelana Kuda adalah rumah untuk golongan menengah kebawah, sedangkan gaya Burung Walet adalah rumah untuk para bangsawan. Sepanjang jalan terdapat banyak bentuk rumah seperti ini. Salah satunya rombongan berhenti di depan sebuah rumah dengan gaya Burung Walet pada bagian atapnya. Rumah tersebut dulunya adalah milik keluarga Souw, salah satu keluarga terkaya pada masanya dan rumah mereka disebut-sebut adalah yang termegah pada masa itu. Masih di jalan yang sama, rombongan diajak memasuki sebuah gedung sekolah SMA Negeri 19. Kang Asep menjelaskan mengenai sejarah bangunan sekolah tersebut yang merupakan sekolah pertama untuk rakyat Tiong Hoa, karena pada masa itu rakyat Tiong Hoa dan pemerintah Belanda tidak berhubungan baik, sehingga Perhimpunan Tiong Hoa Hwee Kuan (THHK) berinisiatif membangun sekolah sendiri untuk tempat belajar bagi anak-anak Tiong Hoa. Organisasi Perhimpunan THHK sendiri adalah organisasi pertama di Indonesia, namun karena rakyat Tiong Hoa tidak diakui pada masa itu, maka organisasi Budi Oetomo yang dianggap sebagai organisasi pertama.

Sekolah yang dibangun pada tahun 1900 itu kini keadaannya sangat memprihatinkan, jika hujan turun sekolah tersebut akan tergenang air. Pemerintah yang akan merenovasi mengalami kesulitan untuk meninggikan gedung karena kaki-kaki penopang gedung tersebut ditanam sangat dalam dan harus dibongkar, sementara gedung sekolah tersebut tidak boleh dibongkar atau pun diubah arsitekturnya karena termasuk dalam bangunan cagar budaya dan sejarah yang dilindungi. Sambil memandu rombongan, Kang Asep juga menyampaikan pesannya kepada para peserta agar tetap peduli dengan sejarah dan budaya Indonesia karena menurutnya ketidakpedulian terhadap sejarah dan budaya terutama oleh generasi muda adalah sebuah penghancuran terhadap bangsanya sendiri. “Untuk menghancurkan suatu bangsa, hancurkan ingatan sejarah generasi mudanya,” tutur Kang Asep. Di tempat ini pula datang seorang tamu yang tidak diduga-duga kehadirannya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan beserta para ajudannya hadir dan turut serta dalam acara ini. Beliau memberikan sambutan serta menanggapi keluh-kesah masyarakat, wartawan, budayawan dan sejarawan akan hancurnya asset-aset budaya dan sejarah untuk pembangunan perkotaan.

Perjalanan selanjutnya rombongan kembali berhenti di sebuah apotek yang bangunannya kini sudah modern. Kang Asep menjelaskan dulunya di bekas bangunan tersebut adalah apotek juga bernama “Geledek” dan bangunannya berwarna hitam. Tak jauh dari apotek tersebut, kami singgah di Klenteng Soa Se Bio (Hong San Bio). Saat rombongan datang, para warga Tiong Hoa sedang melakukan sembahyang karena masih dalam suasana Imlek. Rombongan diperbolehkan masuk dan bertanya pada penjaga Klenteng seputar tempat ibadah warga Tiong Hoa tersebut.

Usai dari Klenteng Soa Se Bio, rombongan melewati pasar tradisional di daerah itu menuju tempat berikutnya yaitu Gereja St. Maria De Fatima. Gereja tersebut dulunya adalah milik keluarga Luitenant Der Chinezen bermarga Tjioe, kemudian dialihfungsikan menjadi gereja yang diperuntukkan untuk para pejabat Tiong Hoa Kristen pada masa pemerintahan Belanda. Struktur bangunan gereja tersebut yaitu satu bangunan utama dan dua bangunan disamping dengan ciri khas rumah bangsawan, ujung atapnya melengkung gaya ekor Walet, serta ada kawalan dua singa batu pada halaman depannya.

Selanjutnya rombongan menuju Klenteng Kim Pek Le (Jin De Yuan) atau yang dikenal Klenteng Dharma Bhakti. Masih seperti di klenteng yang pertama, di klenteng ini juga masih ramai para warga Tiong Hoa melakukan ritual sembahyang. Pada tahun 1740 klenteng ini sempat dirusak dalam peristiwa pembantaian etnis Tiong Hoa yang memakan korban sekitar 10 ribu jiwa dan dikenal sebagai tragedi pembantaian “Angke.” Rangkaian tur berakhir di Museum Bank Mandiri yang diiisi dengan acara makan bersama dan sharing seputar acara tur. Berbagai pendapat dan masukan silih berganti menghiasi diskusi siang itu. Acara ditutup dengan pemutaran film Batavia tempo dulu.

55 views0 comments
bottom of page