top of page

Amoroso Katamsi Meniti 77 Mengalir dalam Kehidupan

Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza

Ada berapa patok lagi di depan? Kita tidak akan pernah tahu. Kita hanya tahu yang sudah kita lalui. Setiap kali melongok keluar, patok-patok tersebut memberi tahu seberapa jauh perjalanan yang sudah kita tempuh. Pada patok ke-77 Amoroso Katamsi menoleh kebelakang, ia melihat jejaknya menggurat tajam di relung restropeksi kehidupannya. Berarakan beragam peristiwa di masa silam. Namun ia tak hendak menceritakan. Menurutnya ini bukanlah sebuah biografi “Apalah saya ini”, katanya berkali-kali sangat merendah.

Di pertunjukan ini memang menampilkan sedikit narasi yang memuai dari masa kecil Amoroso Katamsi hingga kehidupannya sekarang. Namun itu tak lebih untuk menjembatani kemunculan beberapa monolog, lagu, dan gerak dalam pementasan “Amoroso Katamsi Meniti 77 Mengalir dalam Kehidupan” yang dipentaskan pada 16-17 Januari 2015 lalu di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pukul 20.00 WIB. Di usia 77, Amoroso menerawang, semua pengalaman hidupnya yang bisa mengalir sebagai arus tanpa hambatan. Ia bersyukur. Diundangnya sejumlah teman bukan untuk potong kue, tetapi membaca monolog dan mengurusi ini-itu untuk sebuah pertunjukan yang menandai tahun keberadaannya yang ke-77. Putra dan putrinya juga tampil, bermusik, dan menyanyi. “Meniti 77 Menglir dalam Kehidupan.” Ia sendiri yang memberi judul pertunjukkan ini. Diceburinya sungai kehidupan untuk mengalir bersamanya. Amoroso mengatakan bahwa setiap penampil dalam pementasan ini diberi kebebasan untuk menentukan materi yang hendak ditampilkan.

Tepat pukul 20.00 WIB tirai panggung terbuka dan suara merdu Aning Katamsi menyambut dengan “Tembang” karya Trisutji Kamal dan diiringi oleh alunan piano dari Ratna Katamsi Ansyari. Mereka mengatakan bahwa tembang ini diunjukkan dari hati yang suci kepada Tuhan YME dan diakhiri dengan doa memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat

Selanjutnya adegan utama dimulai, dibuka dengan monolog dari Sha Ine febrianti yang menampilakan karya Agus Noor berjudul “Cut Nyak Dhien.” Diawali dengan Cut Nyak Dhien yang terasing dari tempat yang sangat dicintainya, saat ia berjuang melawan penjajah. Kerinduannya akan Nanggroe menggebu hingga terasa menyakitkan dalam keadaan tanpa daya. Namun hatinya terlalu keras untuk lumer. Semangatnya tetap terjaga oleh nilai-nilai perjuangan yang diturunkan para leluhurnya dan demi masa depan kebebasan yang harus dienyam buah hatinya.

Berpindah ke lain pigura, tampil Gandung Bondowoso membawakan monolog “Godlob” karya Danarto. Monolog ini berkisah tentang seorang ayah yang menjadikan anaknya sebagai pahalawan dengan cara membunuhnya dalam peperangan, hal ini dilakukan sang ayah karena tidak tahan melihat penderitaan sang anak atas luka yang diderita dan harus kembali ke medan perang. Akhirnya ia memilih untuk membunuh anaknya agar dikenang sebagai pahlawan. Dua monolog telah menghipnotis para penonton yang hadir, kini penonton disajikan penampilan memukau Doddy Katamsi yang menyanyikan “Love of My Life” milik Freddy Mercury. Lagu ini dipersembahakan untuk sang Ayah atas cinta kasihnya yang tulus selama ini kepada anak-anaknya.

Tidak berakhir disitu, muncul dua penari lihai nan gemulai David Fitrik dan Eka yang memainkan sendra tari berjudul “Tali Kasih.” Sendra tari ini menampilkan karya tari yang menggambarkan kisah percintaan Amoroso Katamsi dengan Pranawengrum. Tidak hanya menyanyi, kini Aning Katamsi ikut bermonolog dan menampilkan “Prita Istri Kita” karya Jajang C. Noer yang ditulis tahun 1967 yang menampilkan ketidakpuasan Prita pada suaminya. Lantas melayanglah khayalan pada laki-laki lain.

Tanpa diduga-duga Jose Rizal Manua turut serta tampil dalam pementasan ini membawakan monolog “Mas Joko” karya Remy Silado, menceritakan Mas Joko setengah baya, baru saja jatuh cinta kepada wanita berusia dua puluh tahun yang berwajah bundar. Perempuan yang tinggal di lantai 19 itu mengalami kesialan karena lift-nya macet. Mas Joko pun judeg dan gondok tetapi lelaki itu tetap berusaha. Celetukan khas Jose Rizal membawa decak kagum seluruh penonton serta membuat seluruh penjuru gedung teater bergumuruh dengan tawa.

Akhirnya setalah disajikan beragam pertunjukkan luar biasa, sang legenda Amoroso Katamsi tampil membawakan monolog berjudul “Hero” karya Putu Wijaya. Meski harus berdiri dengan bantuan tongkat namun akting yang disajikan Amoroso Katamsi patut diacungkan sepuluh jempol. Ia menampilkan cerita tentang seorang pejuang kemerdekaan yang tertembak oleh pasukan NICA di sebuah pertempuran. Pengorbanan itu sangat menyakitkan saat ia diobok-obok oleh para pedagang dan politisi dengan korupsi dan lain-lain. Ia ingin berbuat sesuatu dan membunuh mereka, tetapi tidak bisa, akhirnya ia bunuh diri. Selamat ulang tahun Amoroso Katamsi, jangan putus berkarya.

74 views0 comments
bottom of page